Tradisi Kritis
“Komunikasi sebagai hasil dari perefleksian sebuah wacana”
Sebelum mempelajari tradisi kritis lebih lanjut, coba Kalian renungkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Pernahkah kalian berpikir tentang keistimewaan yang kalian miliki namun tidak dimiliki orang lain? Apakah kelebihan yang kalian miliki? Merasa beruntungkah kalian atas hal spesial yang kalian miliki itu? Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri dari mana kah kalian mendapatkan kelebihan-kelebihan tersebut?
Sekarang, kebalikan dari sebelumnya. Keistimewaan apa yang orang lain miliki namun kalian tidak punya? Apakah kelebihan mereka membuat kalian minder atau melupakan kelebihan serta keunikkan pribadi? Pernahkah kalian juga berpikir mengapa mereka bisa memiliki kehebatan seperti itu sedangkan kalian tidak? Apa yang menghalangi kalian untuk memilikinya? Apakah kalian merasa memiliki kemampuan, kelebihan, aset, modal, dan sumber daya lainnya namun kalian merasakan bahwa hal itu masih kurang dan bahkan tidak dihargai oleh orang lain? Mungkinkah ada simbol, aturan, dan makna tertentu yang digunakan dalam komunikasi di masyarakat yang memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada kelompok tertentu sehingga kelompok itu mengambil sumber daya atau aset yang dimiliki kelompok lain? Bagaimanakah pembagian kekuasaan di masyarakat dapat diterapkan dalam komunikasi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas khususnya mengenai kekuasaan (power) dan keistimewaan (privilege) yang diterima kelompok tertentu di masyarakat meruakan pokok pemikiran yang penting dalam tradisi kritis ini. Kalian akan mengalami perbedaan sosial (social difference) jikalau kalian memiliki keistimewaan, atau tidak memilikinya, yang disebabkan oleh jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, bahasa, agam, suku, atau faktor identitas lainnya yang kalian miliki. Dalam hal ini Little John mengemukakan: “These theories show the power, oppression, and privilege are the product of certain forms of communication throughout society” (Little John dan Foss, hlm.47) – teori ini menunjukkan bahwa kekuasaan, penindasan, dan keistimewaan adalah produk dari bentuk komunikasi tertentu di masyarakat.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ‘kritis’ diartikan sebagai keadaan krisis, gawat, atau genting (tentang suatu keadaan). Namun, kritis di sini diartikan dalam pemikiran kritis yang memperhatikan seluk beluk atau detail suatu masalah. Kesenjangan di dalam masyarakat melahirkan perhatian dari teori Kritis yang menjadi dasar dari Tradisi ini. Proses komunikasi dilihat dari sudut pandang kritis. Terdapat dua sisi berlawanan dalam komunikasi. Pada satu sisi ditandai dengan dominasi kelompok kuat atas kelompok masyarakat yang lemah. Pada sisi lain, kegiatan komunikasi itu sendiri seharusnya dapat memberikan pengertian dan menjadi kekuatan bagi kepentingan kelompok masyarakat yang lemah.
Tradisi Kritis dapat menjelaskan baik lingkup komunikasi antar personal maupun komunikasi bermedia. Tradisi ini tampak kental dengan pembelaan terhadap kalangan yang lemah. Komunikasi diharapkan berperan dalam proses transformasi masyarakat yang lemah. (Myrantyas. 2011. Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi. Diakses dari situs https://mirayashmine.wordpress.com/2011/01/10/tujuh-tradisi-dalam-teori-komunikasi/ pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.)
Dalam perkembangannya, teori kritis memiliki beberapa bagian/percabangan, yaitu:
1. Marxisme (Karl Marx)
Menurut ajaran ini, alat-alat produksi ekonomi di masyarakat menentukan sifat dan bentuk masyarakat bersangkutan (the means of production in society determines the nature of society), dengan demikian ekonomi menjadi dasar dari semua struktur sosial (Morissan, 2013: 57). Pada sistem ekonomi kapitalis, pemilik modal ingin meraih keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga membuat para buruh/pekerja jadi tertindas. Ajaran Marxisme berpandangan bahwa kaum kapitalis, yaitu pemilik pabrik dan tanah (alat produksi) menindas masyarakat. Untuk mencapai kebebasan, kelompok buruh harus melawan kelompok pengusaha yang dominan dan merebut sumber-sumber produksi.
2. Frankfurt School
Kelompok ahli filsafat ini dipelopori oleh dua sarjana yaitu Rheodor Adorno dan Max Horkheimer bekerja sama dengan Institute for Social Research yang didirikan di Frankfurt pada tahun 1923. Para tokoh dari pemikiran atau gagasan Frankfurt School ini menerapkan berbagai disiplin ilmu (filsafat, sosiologi, ekonomi, dan sejarah) untuk mendorong munculnya pemikiran sosial yang luas. Dengan kajian yang komprehensif (luas dan lengkap), diharapkan dapat mendorong perubahan atau transformasi masyarakat, budaya, ekonomi, dan kesadaran.
3. Postmodernisme (1970-an)
EM Griffin dalam bukunya “A first Look at Communication Theory” (2003), mengemukakan 6 pernyataan yang dapat menjelaskan mengenai munculnya pemikiran posmo ini, yaitu: (EM Griffin, dan Glen McClish, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003: 338-340)
4. Feminisme
Para Feminis (sebutan untuk mereka yang mendukung paham feminisme) melakukan pembelajaran, memberi kritik, serta menguji suatu asumsi terhadap berbagai pengalaman dalam hubungan antara mereka yang bergender laki-laki dan perempuan. Studi tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan dalam upaya mereka untuk bagaimana agar pria dan wanita bebas untuk hidup bersama di dunia ini.
Upaya yang mereka lakukan pada dasarnya lebih mendalami pembelajaran tentang gender, namun juga menawarkan berbagai teori dengan fokus studinya pada pengalaman wanita dan menjelaskan hubungan antara gender sebagai salah satu kategori sosial dengan kategori sosial lainnya seperti: ras, etnik, kelas, dan seksualitas.
Dalam perkembangannya, teori kritis memiliki beberapa bagian/percabangan, yaitu:
1. Marxisme (Karl Marx)
Menurut ajaran ini, alat-alat produksi ekonomi di masyarakat menentukan sifat dan bentuk masyarakat bersangkutan (the means of production in society determines the nature of society), dengan demikian ekonomi menjadi dasar dari semua struktur sosial (Morissan, 2013: 57). Pada sistem ekonomi kapitalis, pemilik modal ingin meraih keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga membuat para buruh/pekerja jadi tertindas. Ajaran Marxisme berpandangan bahwa kaum kapitalis, yaitu pemilik pabrik dan tanah (alat produksi) menindas masyarakat. Untuk mencapai kebebasan, kelompok buruh harus melawan kelompok pengusaha yang dominan dan merebut sumber-sumber produksi.
2. Frankfurt School
Kelompok ahli filsafat ini dipelopori oleh dua sarjana yaitu Rheodor Adorno dan Max Horkheimer bekerja sama dengan Institute for Social Research yang didirikan di Frankfurt pada tahun 1923. Para tokoh dari pemikiran atau gagasan Frankfurt School ini menerapkan berbagai disiplin ilmu (filsafat, sosiologi, ekonomi, dan sejarah) untuk mendorong munculnya pemikiran sosial yang luas. Dengan kajian yang komprehensif (luas dan lengkap), diharapkan dapat mendorong perubahan atau transformasi masyarakat, budaya, ekonomi, dan kesadaran.
3. Postmodernisme (1970-an)
EM Griffin dalam bukunya “A first Look at Communication Theory” (2003), mengemukakan 6 pernyataan yang dapat menjelaskan mengenai munculnya pemikiran posmo ini, yaitu: (EM Griffin, dan Glen McClish, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003: 338-340)
- “Postmodern describes a period of time when promise of modernism no longer seem justified” (postmodern menjelaskan suatu periode waktu ketika janji modernisme tidak lagi dapat dibenarkan.
- “We have become tools of our tools” (kita telah menjadi alat dari alat yang kita buat).
- “In a postmodern world, any claim of truth or moral certainty is suspect” (dalam dunia postmodern, setiap klaim mengenai kebenaran dan kepastian moral adalah tersangka).
- “Images become more important than what they represent” (gambaran menjadi lebih penting dari apa yang diwakilinya).
- “With a media assist, we can mix and match diverse styles and tastes to create a unique identity” (dengan bantuan media, kita dapat mencampur dan mencocokkan berbagai gaya dan selera untuk menciptakan suatu identitas unik).
- “Postmodernism can also be seen as a new kind of economic order-a consumer society based on multinational capitalsm” (posmo juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk tata ekonomi baru-suatu masyarakat konsumen berdasarkan kapitalisme multinasional).
4. Feminisme
Para Feminis (sebutan untuk mereka yang mendukung paham feminisme) melakukan pembelajaran, memberi kritik, serta menguji suatu asumsi terhadap berbagai pengalaman dalam hubungan antara mereka yang bergender laki-laki dan perempuan. Studi tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan dalam upaya mereka untuk bagaimana agar pria dan wanita bebas untuk hidup bersama di dunia ini.
Upaya yang mereka lakukan pada dasarnya lebih mendalami pembelajaran tentang gender, namun juga menawarkan berbagai teori dengan fokus studinya pada pengalaman wanita dan menjelaskan hubungan antara gender sebagai salah satu kategori sosial dengan kategori sosial lainnya seperti: ras, etnik, kelas, dan seksualitas.
Terdapat beberapa variasi pemikiran dalam kelompok teori kritis yang telah dikemukakan sebelumnya, namun semuanya mengemukakan tiga hal penting yang sama yaitu: (Morissan, 2013: 55-56)
- Tradisi kritis berupaya untuk memahami sistem yang sudah baku yang diterima masyarakat begitu saja (taken-for-granted systems) termasuk juga struktur kekuasaan dan kepercayaan atau ideologi yang mendominasi masyarakat, namun tradisi kritis memberikan perhatian utama pada kepentingan siapa yang lebih dilayani oleh struktur kekuasaan yang ada. Pertanyaan seperti: siapa yang boleh bicara dan siapa yang tidak boleh, apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan, dan siapa yang mendapat keuntungan dari sistem yang berlaku, merupakan pertanyaan yang menjadi cirri khas para pendukung teori kritis.
- Teori kritis menunjukkan ketertarikannya untuk mengemukakan adanya suatu bentuk penindasan sosial dan mengusulkan suatu pengaturan kekuasaan (power arrangements), dalam upaya mendukung emansipasi dan mendukung terwujudnya masyarakat yang lebih bebas dan lebih terpenuhi kebutuhannya (a freer and more fulfilling society). Memahami adanya penindasan menjadi langkah pertama untuk menghapus ilusi dan janji manis yang diberikan suatu ideologi atau kepercayaan dan mengambil tindakan untuk mengatasi kekuasaan yang menindas.
- Para pendukung teori kritis berusaha untuk memadukan antara teori dan tindakan. Teori yang bersifat normative harus bisa diimplementasikan untuk mendorong perubahan di tengah masyarakat. Hubungan antara teori dan tindakan ini digambarkan dalam ungkapan: “to read the world with an eye towards shaping it” (membaca dunia dengan mata tertuju pada upaya untuk mengubahnya). Penelitian yang dilakukan dalam teori kritis berupaya menunjukkan bagaimana berbagai kepentingan yang saling bersaing berbenturan (clash) dan menunjukkan cara bagaimana mengatasi benturan konflik kepentingan itu dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu khususnya kelompok marginal (masyarakat lemah).
Daftar Pustaka
Fiske, John. 2016. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi – Individu hingga Massa. Jakarta: Prenadamedia Group.
Yusuf, Nur Azizah Zakiyah. 2013. Tradisi Kritis dalam Ilmu Komunikasi. Diakses dari situs http://nurazizahzakiyah.blogspot.co.id/2013/03/tradisi-kritis-dalam-ilmu-komunikasi.html pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
Arifuntaha. 2016. Tradisi Kritis. Diakses dari situs https://arifuntahablog.wordpress.com/tradisi-kritis/ pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
Myrantyas. 2011. Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi. Diakses dari situs https://mirayashmine.wordpress.com/2011/01/10/tujuh-tradisi-dalam-teori-komunikasi/ pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
https://www.dictio.id/t/apakah-yang-dimaksud-dengan-teori-tradisi-kritis-the-critical-tradition/9040/3 pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
Komentar
Posting Komentar